belajar berenang

belajar berenang

Reuni setelah 30Th Alumni SMP YASPORBI I

Reuni setelah 30Th Alumni SMP YASPORBI I
Semoga kita selalu bersilaturahmi

Rabu, 12 Mei 2010

Cahaya Batang Uru, "Kami Tidak Byarpet Seperti PLN

Cahaya Batang Uru, "Kami Tidak Byarpet Seperti PLN"

Beberapa orang sibuk mengatur letak CPU dan monitor komputer. Ada yang memegang kabel, ada pula memeriksa colokan. Mereka serius, Mereka bersemangat. Penonton yang memenuhi ruangan berukuran tidak lebih delapan x delapan meter itu juga tak kalah seriusnya.

Lalu, kamera menyorot wajah seorang dari para pria yang sibuk memasang komputer tersebut. Komputer telah terinstal, wajah pria ini sumringah. Tapi, pria ini dengan polos berujar,”Yang mana yang ditekan,?” dengan aksen Toraja. Penonton tergelak. Suasana jadi riuh.

***

Adegan pertama di film berjudul “Cahaya Air Dari Batang Uru” ini mengisahkan manfaat sejak berjalannya pembangkit listrik mini tenaga hidro yang dirintis oleh Ir.Linggi dan warga desa setempat. Linggi adalah alumni jurusan Mekanisasi Pertanian Unhas yang bertanggungjawab di balik inisiatif murni swadaya warga tersebut. Wajah Linggi dan suaranya yang dominan dalam film itu.

Tanggal 10 Mei 2010, sejak pukul 16.30 puluhan orang yang hadir di ruang utama kantor Yayasan Bakti di jalan Dr. Soetomo menikmati alur cerita dari film berdurasi tiga puluh menit tersebut. Mereka datang dari berbagai kalangan seperti mahasiswa, staf proyek donor, wartawan, pegiat LSM, Bappeda Propinsi, Penanaman Modal, bahkan staf Perusahaan Listrik Nasional. Mereka antusias mengikuti pemutaran film istimewa yang dibesut oleh Rumah Ide asal Makassar.

Yang lebih istimewa karena Ir. Linggi, pria berperawakan sedang dan sederhana , warga Batang Uru, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat itu hadir di tengah para penoton. Setelah pemutaran film, dialog pun digelar. Linggi yang juga terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Mamasa karena prestasinya ini terlihat cekatan menyampaikan pengalaman kerjanya.

Dari cerita film tergambar bagaimana warga memanfaatkan aliran sungai sebagai sumber energi listrik. Tugas Linggi mendisain dan menyiapkan mesin pembangkit yang dapat mengubah energi dari alam tersebut. Material dan tenaga murni swadaya Linggi dan beberapa warga desa. Lampu menyala, rumah warga terang benderang. Kegiatan ekonomi juga berjalan. Warga dapat membuka usaha meubel, menikmati masakan dari rice cooker, dan tentu saja anak-anak dapat belajar pada malam hari dengan cahaya melimpah.

“Kami over tenaga listrik,” Kata Linggi kalem.

Rupanya, Linggi mempunyai kelebihan tersendiri dan cita-cita mulia. Dia mengelola pengetahuan dan keterampilannya untuk memproduksi mesin pembangkit mikro hidro. Bersama dia, kini bekerja 20an karyawan lulusan SD asal kampung tersebut. Dia merintis jaringan kerjasama dengan perusahaan di Bandung yang juga memiliki fokus kerjaan yang sama.

“Di Batang Uru, saya tidak mempekerjakan lulusan SMA karena mereka potensial menjadi pegawai pemerintah. Saya memberi kesempatan kepada yang hanya tamat SD,” kata Linggi diplomatis.

Dari satu bagian film yang diputar terlihat bagaimana Linggi memimpin pertemuan antar warga membahas instalasi, pengaturan dan rincian pembiayaan dan pembayaran bagi setiap pemakai. “Kami kini menggaji karyawan setiap bulan dengan total gaji 20an juta,” Katanya bangga. Darinya puluhan mesin pembangkit hidro telah didistribusi ke beberapa wilayah lainnya di Sulawesi. “Biaya pembuatan satu unit pembangkit tidak sampai Rp.50 Juta. Ini di luar biaya instalasi dan kebutuhan lainnya”. Dari usaha inilah Linggi memberikan nilai ekonomi kepada kampung halamannya.

Linggi memanfaatkan sarana ibadah gereja sebagai forum diskusi, membangun kesepakatan dengan warga. Linggi terlihat optimis dengan apa yang telah dilakukannya. Warga menikmati limpahan energi listrik dari pemangkit dan dia mengembangkan usaha perakitan pembangit listrik tenaga hidro.

Biaya operasional listrik warga ini telah berjalan langgeng tanpa kendala pembiayaan. Jika pada proyek bantuan listrik di beberapa desa terpencil gagal karena warga tidak membiayai biaya operasional maka pengelola listrik di Batang Uru telah surplus pemasukan. Linggi layak diganjar sebagai inovator pembangunan desa mandiri energi. Cahaya mengalir dari Batang Uru di atas jerih payah mereka.

Kreasi Linggi dan cahaya yang mengalir dari air sungai Batang Uru muncul karena solidaritas dan kerjasama antar warga. Sekaligus menjadi bukti bahwa perpaduan keahlian, keterampilan dan sumberdaya alam yang tersedia adalah kombinasi yang apik dan dapat melanggengkan kehidupan warga, bahkan menuju kegemilangan generasi.

Di Batang Uru, desa penerima gelar desa mandiri energi tahun 2008 dalam ihwal kelistrikan, fungsi pelayanan negara menjadi pengecualian karena mereka dapat memenuhi kebutuhan energinya dengan leluasa. Betul sekali, sebagaimana pesan ending film itu yang dengan angkuh mengakui kelebihannya dari PLN yang kelimpungan karena krisis listrik. Menurut cerita Linggi dari kreasi ini, desa mampu menghasilkan listrik hingga 50 kilowatt. Besaran listrik yang dihasilkannya tergantung debit dan elevasi aliran air sungai. Seperti terlihat dari film itu, warga desa sedang menyiapkan fasilitas turbin untuk menghasilkan listrik hingga 100 kilowatt.

“Walau tinggal di desa, kami lebih baik dari warga kota yang selalu mengalami byar pet karena PLN yang defisit, ” begitulah kurang lebih pesan Linggi dari film tersebut.

Gowa, 11052010