belajar berenang

belajar berenang

Reuni setelah 30Th Alumni SMP YASPORBI I

Reuni setelah 30Th Alumni SMP YASPORBI I
Semoga kita selalu bersilaturahmi

Jumat, 16 Mei 2008

BP PDAM Harus Dievaluasi

BP PDAM Harus Dievaluasi
Monday, 14 April 2008
http://makassarkota.go.id/pemerintahan/bp-pdam-harus-dievaluasi.html

MAKASSAR,– Wali Kota Makassar di minta mengevaluasi kinerja Badan Pengawas (BP) PDAM Makassar, hal itu karena BP dianggap tidak efektif melakukan tugasnya.

Anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) Makassar Zulkifli HIM kepada SINDO mengatakan, sudah saatnya Wali Kota Makassar mengambil sikap untuk mengevaluasi kinerja BP PDAM, yang dinilai tidak membawa perubahan terhadap kondisi PDAM yang selama ini masih terlilit utang dan tingkat kebocoran yang tidak bisa ditekan.

“BP PDAM terlalu banyak mencampuri urusan Direksi PDAM sehingga menyebabkan direksi dalam bekerja, tidak maksimal dan berada dalam tekanan,”katanya. Zulkifli mencontohkan beberapa masalah di PDAM yang tidak mengalami perubahan pasca penambahan BP PDAM, di antaranya mengenai masalah penjualan air ke PT Traya yang tidak bisa diselesaikan oleh BP, kebocoran air yang tidak bisa dihilangkan di PDAM serta secara intern BP belum bisa melakukan efisiensi anggaran.

“Selama ini direksi PDAM diminta menggunakan anggaran seefisien mungkin, sementara BP sendiri justru tidak melakukan penghematan anggaran.Lihat saja anggaran perjalanan dinas BP dari tahun 2006 ke tahun 2007 mengalami peningkatan yang cukup drastis hingga 300%,jika pada 2006 lalu untuk item kegiatan ini BP hanya dianggarkan Rp400 juta,maka pada 2007 anggaran untuk kegiatan tersebut mencapai Rp1,5 miliar,”ujarnya.

Bukan hanya itu saja, dia juga mengatakan, di tubuh BP sendiri terjadi dualisme kepentingan dan tidak adanya kekompakan di antara mereka, khususnya mengenai kebijakan yang harus dilaksana kan direksi. “Wali kota sebaiknya segera merombak komposisi BP agar tidak semakin membawa dampak buruk,bagi kinerja direksi,”ujarnya.

Sementara itu Legislator Fraksi Persatuan Demokrasi Kebangsaan (FPDK) Syamsu Rizal menjelas kan upaya untuk membubarkan BP bukanlah sebuah solusi tepat, yang mesti dilakukan saat ini adalah melakukan pembenahan dan memperbaiki kinerja pengawasan BP yang dianggap bisa mempengaruhi kinerja direksi.

“Keberadaan BP selama ini sangat bagus,karena bisa mengurangi kekuasaan direksi dalam mengambil keputusan yang dulunya cenderung kuat. Apalagi memang sesuai aturan yang ada dalam sebuah Perusda kehadiran BP, sebuah persyaratan jadi kalau dibubarkan bukan perusda namanya,” jelasnya Menurut dia, indikator kehadiran BP membawa perubahan di PDAM yakni pengeluaran di PDAM sudah bisa terkontrol serta bisa dipertanggung jawabkan ke publik.

Menanggapi hal itu Sekretaris Badan Pengawas PDAM Bastian Lubis membantah jika kehadiran BP tidak membawa perubahan di PDAM, malah justru pasca dibentuk cash flow PDAM yang selama tahun 2005–2006 hanya mampu diraih sebesar Rp1,6 miliar pada 2007 ini bisa dicapai sebesar Rp42 miliar.

“Target BP mencegah agar PDAM tidak bangkrut. Jika pun ada pihak yang mengusulkan BP dibubarkan, jangan asal ngomong saja,harus disertai dengan bukti yang jelas,” ujarnya.Pasca BP memperketat pengawasan dan melakukan pemangkasan pada beberapa program PDAM yang tidak penting, kata Bastian, seperti menghilangkan sejumlah beban sumbangan ke pihak ketiga memang banyak mendapatkan sorotan. (suwarny dammar/SINDO)

Kamis, 15 Mei 2008

Balanced Scorecard

Balanced Scorecard merupakan alat manajemen kontemporer yang didesain untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam melipatgandakan kinerja keuangan luar biasa secara berkesinambungan (sustainable outstanding financial performance). Oleh karena perusahaan pada dasarnya merupakan institusi pencipta kekayaan, pemanfaatan Balanced Scorecard dalam pengelolaan menjanjikan peningkatan signifikan kemampuan perusahaan dalam menciptakan kekayaan.

Keunggulan potensial Balanced Scorecard adalah dalam pelipatgandaan kinerja keuangan perusahaan.

Konsep Balanced Scorecard, Evolusi perkembangan pemanfaatan Balanced Scorecard dalam pengelolaan. Keunggulan Balanced Scorecard dibahas untuk memungkinkan pembelajar dapat memperoleh manfaat optimum dari pengimplementasian Balanced Scorecard.

KONSEP DAN EVOLUSI PERKEMBANGAN BALANCED SCORECARD
Balanced Scorecard terdiri dari dua kata: (1) kartu skor (scorecard) dan (2) berimbang (balanced). Pada tahap eksperimen awal, Balanced Scorecard merupakan kartu skor yang dimanfaatkan untuk mencatat skor hasil kinerja eksekutif. Melalui kartu skor, skor yang hendak diwujudkan eksekutif di masa depan dibandingkan dengan hasil kinerja sesungguhnya. Hasil perbandingan ini dimanfaatkan untuk melakukan evaluasi atas kinerja eksekutif. Kata berimbang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kinerja eksekutif diukur secara berimbang dari dua perspektif: keuangan dan nonkeuangan, jangka pendek dan jangka panjang, intern dan ekstern. Oleh karena eksekutif akan dinilai kinerja mereka berdasarkan kartu skor yang dirumuskan secara berimbang, eksekutif diharapkan akan memusatkan perhatian dan usaha mereka pada ukuran kinerja nonkeuangan dan ukuran jangka panjang.
Konsep Balanced Scorecard berkembang sejalan dengan perkembangan pengimplementasian konsep tersebut. Balanced Scorecard telah mengalami evolusi perkembangan: (1) Balanced Scorecard sebagai perbaikan atas sistem pengukuran kinerja eksekutif, (2) Balanced Scorecard sebagai rerangka perencanaan strategik, dan (3) Balanced Scorecard sebagai basis sistem terpadu pengelolaan kinerja personel.

Balanced Scorecard sebagai Perbaikan atas Sistem Pengukuran Kinerja Eksekutif
Balanced Scorecard diciptakan oleh Robert S. Kaplan, seorang professor dari Harvard Business School dan David P. Norton dari kantor akuntan publik KPMG. Kedua orang tersebut adalah dari U.S.A. Pada tahun 1990, Nolan Norton Institute, bagian riset kantor akuntan publik KPMG di U.S.A. yang dipimpin oleh David P. Norton, menyeponsori studi tentang “Pengukuran Kinerja dalam Organisasi Masa Depan.” Ada 12 perusahaan yang pada waktu itu menjadi objek studi: Advanced Micro Devices, American Standard, Apple Computer, Bell South, CIGNA, Corner Peripherals, Cray Research, Dupont, Electronic Data Systems, General Electric, Hewlett-Packard, dan Shell Canada. Studi ini didorong oleh kesadaran bahwa pada waktu itu ukuran kinerja keuangan yang dimanfaatkan oleh semua perusahaan untuk mengukur kinerja eksekutif tidak lagi memadai. Balanced Scorecard dimanfaatkan untuk menyeimbangkan usaha dan perhatian eksekutif ke kinerja keuangan dan nonkeuangan, serta kinerja jangka pendek dan kinerja jangka panjang. Hasil studi tersebut diterbitkan dalam sebuah artikel berjudul “Balanced Scorecard—Measures That Drive Performance” dalam Harvard Business Review (Januari-Februari 1992). Hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa untuk mengukur kinerja eksekutif di masa depan, diperlukan ukuran komprehensif yang mencakup empat perspektif: keuangan, customer, proses, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Ukuran ini disebut Balanced Scorecard, yang dipandang cukup komprehensif untuk memotivasi eksekutif dalam mewujudkan kinerja dalam keempat perspektif tersebut, agar keberhasilan keuangan yang diwujudkan perusahaan bersifat berkesinambungan (sustainable).
Dengan memperluas ukuran kinerja eksekutif ke kinerja nonkeuangan, ukuran kinerja eksekutif menjadi komprehensif. Balanced Scorecard memperluas ukuran kinerja eksekutif ke empat perspektif: keuangan, customers, proses, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Berdasarkan pendekatan Balanced Scorecard, kinerja keuangan yang dihasilkan oleh eksekutif harus merupakan akibat diwujudkannya kinerja dalam pemuasan kebutuhan customer, pelaksanaan proses yang produktif dan cost-effective, dan/atau pembangunan personel yang produktif dan berkomitmen.

Perluasan ukuran kinerja eksekutif yang sebelumnya hanya terpusat pada ukuran keuangan. Dengan pendekatan Balanced Scorecard, ukuran kinerja eksekutif diperluas ke perspektif nonkeuangan: customer, proses, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Dalam contoh pada Gambar 1.2 tersebut, kinerja eksekutif di perspektif keuangan diukur dengan menggunakan tiga macam ukuran: (1) economic value added (EVA), (2) pertumbuhan pendapatan (revenue growth), (3) pemanfaatan aktiva (yang diukur dengan asset turnover), dan (4) berkurangnya biaya secara signifikan (yang diukur dengan cost effectiveness). Kinerja eksekutif di perspektif customer diukur dengan menggunakan tiga ukuran: (1) jumlah customer baru, (2) jumlah customer yang menjadi non-customer, dan (3) ketepatan waktu layanan customer. Di perspektif proses, kinerja eksekutif diukur dengan menggunakan tiga ukuran: (1) cycle time, (2) on-time delivery, (3) dan cycle effectiveness. Dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, kinerja eksekutif diukur dengan dua ukuran: (1) skill coverage, dan (2) quality work life.
Dari eksperimen awal Balanced Scorecard sebagai Perbaikan atas Sistem Pengukuran Kinerja Eksekutif
Balanced Scorecard diciptakan oleh Robert S. Kaplan, seorang professor dari Harvard Business School dan David P. Norton dari kantor akuntan publik KPMG. Kedua orang tersebut adalah dari U.S.A. Pada tahun 1990, Nolan Norton Institute, bagian riset kantor akuntan publik KPMG di U.S.A. yang dipimpin oleh David P. Norton, menyeponsori studi tentang “Pengukuran Kinerja dalam Organisasi Masa Depan.” Ada 12 perusahaan yang pada waktu itu menjadi objek studi: Advanced Micro Devices, American Standard, Apple Computer, Bell South, CIGNA, Corner Peripherals, Cray Research, Dupont, Electronic Data Systems, General Electric, Hewlett-Packard, dan Shell Canada. Studi ini didorong oleh kesadaran bahwa pada waktu itu ukuran kinerja keuangan yang dimanfaatkan oleh semua perusahaan untuk mengukur kinerja eksekutif tidak lagi memadai. Balanced Scorecard dimanfaatkan untuk menyeimbangkan usaha dan perhatian eksekutif ke kinerja keuangan dan nonkeuangan, serta kinerja jangka pendek dan kinerja jangka panjang. Hasil studi tersebut diterbitkan dalam sebuah artikel berjudul “Balanced Scorecard—Measures That Drive Performance” dalam Harvard Business Review (Januari-Februari 1992). Hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa untuk mengukur kinerja eksekutif di masa depan, diperlukan ukuran komprehensif yang mencakup empat perspektif: keuangan, customer, proses, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Ukuran ini disebut Balanced Scorecard, yang dipandang cukup komprehensif untuk memotivasi eksekutif dalam mewujudkan kinerja dalam keempat perspektif tersebut, agar keberhasilan keuangan yang diwujudkan perusahaan bersifat berkesinambungan (sustainable).
Dengan memperluas ukuran kinerja eksekutif ke kinerja nonkeuangan, ukuran kinerja eksekutif menjadi komprehensif. Balanced Scorecard memperluas ukuran kinerja eksekutif ke empat perspektif: keuangan, customers, proses, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Berdasarkan pendekatan Balanced Scorecard, kinerja keuangan yang dihasilkan oleh eksekutif harus merupakan akibat diwujudkannya kinerja dalam pemuasan kebutuhan customer, pelaksanaan proses yang produktif dan cost-effective, dan/atau pembangunan personel yang produktif dan berkomitmen.
Gambar 1.2 memperlihatkan perluasan ukuran kinerja eksekutif yang sebelumnya hanya terpusat pada ukuran keuangan. Dengan pendekatan Balanced Scorecard, ukuran kinerja eksekutif diperluas ke perspektif nonkeuangan: customer, proses, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Dalam contoh pada Gambar 1.2 tersebut, kinerja eksekutif di perspektif keuangan diukur dengan menggunakan tiga macam ukuran: (1) economic value added (EVA), (2) pertumbuhan pendapatan (revenue growth), (3) pemanfaatan aktiva (yang diukur dengan asset turnover), dan (4) berkurangnya biaya secara signifikan (yang diukur dengan cost effectiveness). Kinerja eksekutif di perspektif customer diukur dengan menggunakan tiga ukuran: (1) jumlah customer baru, (2) jumlah customer yang menjadi non-customer, dan (3) ketepatan waktu layanan customer. Di perspektif proses, kinerja eksekutif diukur dengan menggunakan tiga ukuran: (1) cycle time, (2) on-time delivery, (3) dan cycle effectiveness. Dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, kinerja eksekutif diukur dengan dua ukuran: (1) skill coverage, dan (2) quality work life.
Dari eksperimen awal Balanced Scorecard tersebut, perusahaan-perusahaan yang ikut serta dalam eksperimen tersebut memperlihatkan kemampuan pelipatgandaan kinerja keuangan mereka. Keberhasilan ini disadari sebagai akibat dari penggunaan ukuran kinerja Balanced Scorecard yang komprehensif. Dengan menambahkan ukuran kinerja nonkeuangan, seperti kepuasan customer, produktivitas dan cost effectiveness proses, dan pembelajaran dan pertumbuhan, eksekutif dipacu untuk memperhatikan dan melaksanakan usaha-usaha yang merupakan pemacu sesungguhnya (the real drivers) untuk mewujudkan kinerja keuangan. Itulah sebabnya mengapa Balanced Scorecard disebut sebagai: “measures that drive performance.”
tersebut, perusahaan-perusahaan yang ikut serta dalam eksperimen tersebut memperlihatkan kemampuan pelipatgandaan kinerja keuangan mereka. Keberhasilan ini disadari sebagai akibat dari penggunaan ukuran kinerja Balanced Scorecard yang komprehensif. Dengan menambahkan ukuran kinerja nonkeuangan, seperti kepuasan customer, produktivitas dan cost effectiveness proses, dan pembelajaran dan pertumbuhan, eksekutif dipacu untuk memperhatikan dan melaksanakan usaha-usaha yang merupakan pemacu sesungguhnya (the real drivers) untuk mewujudkan kinerja keuangan. Itulah sebabnya mengapa Balanced Scorecard disebut sebagai: “measures that drive performance.”

bersambung