belajar berenang

belajar berenang

Reuni setelah 30Th Alumni SMP YASPORBI I

Reuni setelah 30Th Alumni SMP YASPORBI I
Semoga kita selalu bersilaturahmi

Selasa, 16 Desember 2008

foto PNPM MANDIRI PERKOTAAN LKM KEMAS

http://picasaweb.google.com/pandusuryo1967/LKMKEMAS#

Jumat, 16 Mei 2008

BP PDAM Harus Dievaluasi

BP PDAM Harus Dievaluasi
Monday, 14 April 2008
http://makassarkota.go.id/pemerintahan/bp-pdam-harus-dievaluasi.html

MAKASSAR,– Wali Kota Makassar di minta mengevaluasi kinerja Badan Pengawas (BP) PDAM Makassar, hal itu karena BP dianggap tidak efektif melakukan tugasnya.

Anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) Makassar Zulkifli HIM kepada SINDO mengatakan, sudah saatnya Wali Kota Makassar mengambil sikap untuk mengevaluasi kinerja BP PDAM, yang dinilai tidak membawa perubahan terhadap kondisi PDAM yang selama ini masih terlilit utang dan tingkat kebocoran yang tidak bisa ditekan.

“BP PDAM terlalu banyak mencampuri urusan Direksi PDAM sehingga menyebabkan direksi dalam bekerja, tidak maksimal dan berada dalam tekanan,”katanya. Zulkifli mencontohkan beberapa masalah di PDAM yang tidak mengalami perubahan pasca penambahan BP PDAM, di antaranya mengenai masalah penjualan air ke PT Traya yang tidak bisa diselesaikan oleh BP, kebocoran air yang tidak bisa dihilangkan di PDAM serta secara intern BP belum bisa melakukan efisiensi anggaran.

“Selama ini direksi PDAM diminta menggunakan anggaran seefisien mungkin, sementara BP sendiri justru tidak melakukan penghematan anggaran.Lihat saja anggaran perjalanan dinas BP dari tahun 2006 ke tahun 2007 mengalami peningkatan yang cukup drastis hingga 300%,jika pada 2006 lalu untuk item kegiatan ini BP hanya dianggarkan Rp400 juta,maka pada 2007 anggaran untuk kegiatan tersebut mencapai Rp1,5 miliar,”ujarnya.

Bukan hanya itu saja, dia juga mengatakan, di tubuh BP sendiri terjadi dualisme kepentingan dan tidak adanya kekompakan di antara mereka, khususnya mengenai kebijakan yang harus dilaksana kan direksi. “Wali kota sebaiknya segera merombak komposisi BP agar tidak semakin membawa dampak buruk,bagi kinerja direksi,”ujarnya.

Sementara itu Legislator Fraksi Persatuan Demokrasi Kebangsaan (FPDK) Syamsu Rizal menjelas kan upaya untuk membubarkan BP bukanlah sebuah solusi tepat, yang mesti dilakukan saat ini adalah melakukan pembenahan dan memperbaiki kinerja pengawasan BP yang dianggap bisa mempengaruhi kinerja direksi.

“Keberadaan BP selama ini sangat bagus,karena bisa mengurangi kekuasaan direksi dalam mengambil keputusan yang dulunya cenderung kuat. Apalagi memang sesuai aturan yang ada dalam sebuah Perusda kehadiran BP, sebuah persyaratan jadi kalau dibubarkan bukan perusda namanya,” jelasnya Menurut dia, indikator kehadiran BP membawa perubahan di PDAM yakni pengeluaran di PDAM sudah bisa terkontrol serta bisa dipertanggung jawabkan ke publik.

Menanggapi hal itu Sekretaris Badan Pengawas PDAM Bastian Lubis membantah jika kehadiran BP tidak membawa perubahan di PDAM, malah justru pasca dibentuk cash flow PDAM yang selama tahun 2005–2006 hanya mampu diraih sebesar Rp1,6 miliar pada 2007 ini bisa dicapai sebesar Rp42 miliar.

“Target BP mencegah agar PDAM tidak bangkrut. Jika pun ada pihak yang mengusulkan BP dibubarkan, jangan asal ngomong saja,harus disertai dengan bukti yang jelas,” ujarnya.Pasca BP memperketat pengawasan dan melakukan pemangkasan pada beberapa program PDAM yang tidak penting, kata Bastian, seperti menghilangkan sejumlah beban sumbangan ke pihak ketiga memang banyak mendapatkan sorotan. (suwarny dammar/SINDO)

Kamis, 15 Mei 2008

Balanced Scorecard

Balanced Scorecard merupakan alat manajemen kontemporer yang didesain untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam melipatgandakan kinerja keuangan luar biasa secara berkesinambungan (sustainable outstanding financial performance). Oleh karena perusahaan pada dasarnya merupakan institusi pencipta kekayaan, pemanfaatan Balanced Scorecard dalam pengelolaan menjanjikan peningkatan signifikan kemampuan perusahaan dalam menciptakan kekayaan.

Keunggulan potensial Balanced Scorecard adalah dalam pelipatgandaan kinerja keuangan perusahaan.

Konsep Balanced Scorecard, Evolusi perkembangan pemanfaatan Balanced Scorecard dalam pengelolaan. Keunggulan Balanced Scorecard dibahas untuk memungkinkan pembelajar dapat memperoleh manfaat optimum dari pengimplementasian Balanced Scorecard.

KONSEP DAN EVOLUSI PERKEMBANGAN BALANCED SCORECARD
Balanced Scorecard terdiri dari dua kata: (1) kartu skor (scorecard) dan (2) berimbang (balanced). Pada tahap eksperimen awal, Balanced Scorecard merupakan kartu skor yang dimanfaatkan untuk mencatat skor hasil kinerja eksekutif. Melalui kartu skor, skor yang hendak diwujudkan eksekutif di masa depan dibandingkan dengan hasil kinerja sesungguhnya. Hasil perbandingan ini dimanfaatkan untuk melakukan evaluasi atas kinerja eksekutif. Kata berimbang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kinerja eksekutif diukur secara berimbang dari dua perspektif: keuangan dan nonkeuangan, jangka pendek dan jangka panjang, intern dan ekstern. Oleh karena eksekutif akan dinilai kinerja mereka berdasarkan kartu skor yang dirumuskan secara berimbang, eksekutif diharapkan akan memusatkan perhatian dan usaha mereka pada ukuran kinerja nonkeuangan dan ukuran jangka panjang.
Konsep Balanced Scorecard berkembang sejalan dengan perkembangan pengimplementasian konsep tersebut. Balanced Scorecard telah mengalami evolusi perkembangan: (1) Balanced Scorecard sebagai perbaikan atas sistem pengukuran kinerja eksekutif, (2) Balanced Scorecard sebagai rerangka perencanaan strategik, dan (3) Balanced Scorecard sebagai basis sistem terpadu pengelolaan kinerja personel.

Balanced Scorecard sebagai Perbaikan atas Sistem Pengukuran Kinerja Eksekutif
Balanced Scorecard diciptakan oleh Robert S. Kaplan, seorang professor dari Harvard Business School dan David P. Norton dari kantor akuntan publik KPMG. Kedua orang tersebut adalah dari U.S.A. Pada tahun 1990, Nolan Norton Institute, bagian riset kantor akuntan publik KPMG di U.S.A. yang dipimpin oleh David P. Norton, menyeponsori studi tentang “Pengukuran Kinerja dalam Organisasi Masa Depan.” Ada 12 perusahaan yang pada waktu itu menjadi objek studi: Advanced Micro Devices, American Standard, Apple Computer, Bell South, CIGNA, Corner Peripherals, Cray Research, Dupont, Electronic Data Systems, General Electric, Hewlett-Packard, dan Shell Canada. Studi ini didorong oleh kesadaran bahwa pada waktu itu ukuran kinerja keuangan yang dimanfaatkan oleh semua perusahaan untuk mengukur kinerja eksekutif tidak lagi memadai. Balanced Scorecard dimanfaatkan untuk menyeimbangkan usaha dan perhatian eksekutif ke kinerja keuangan dan nonkeuangan, serta kinerja jangka pendek dan kinerja jangka panjang. Hasil studi tersebut diterbitkan dalam sebuah artikel berjudul “Balanced Scorecard—Measures That Drive Performance” dalam Harvard Business Review (Januari-Februari 1992). Hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa untuk mengukur kinerja eksekutif di masa depan, diperlukan ukuran komprehensif yang mencakup empat perspektif: keuangan, customer, proses, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Ukuran ini disebut Balanced Scorecard, yang dipandang cukup komprehensif untuk memotivasi eksekutif dalam mewujudkan kinerja dalam keempat perspektif tersebut, agar keberhasilan keuangan yang diwujudkan perusahaan bersifat berkesinambungan (sustainable).
Dengan memperluas ukuran kinerja eksekutif ke kinerja nonkeuangan, ukuran kinerja eksekutif menjadi komprehensif. Balanced Scorecard memperluas ukuran kinerja eksekutif ke empat perspektif: keuangan, customers, proses, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Berdasarkan pendekatan Balanced Scorecard, kinerja keuangan yang dihasilkan oleh eksekutif harus merupakan akibat diwujudkannya kinerja dalam pemuasan kebutuhan customer, pelaksanaan proses yang produktif dan cost-effective, dan/atau pembangunan personel yang produktif dan berkomitmen.

Perluasan ukuran kinerja eksekutif yang sebelumnya hanya terpusat pada ukuran keuangan. Dengan pendekatan Balanced Scorecard, ukuran kinerja eksekutif diperluas ke perspektif nonkeuangan: customer, proses, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Dalam contoh pada Gambar 1.2 tersebut, kinerja eksekutif di perspektif keuangan diukur dengan menggunakan tiga macam ukuran: (1) economic value added (EVA), (2) pertumbuhan pendapatan (revenue growth), (3) pemanfaatan aktiva (yang diukur dengan asset turnover), dan (4) berkurangnya biaya secara signifikan (yang diukur dengan cost effectiveness). Kinerja eksekutif di perspektif customer diukur dengan menggunakan tiga ukuran: (1) jumlah customer baru, (2) jumlah customer yang menjadi non-customer, dan (3) ketepatan waktu layanan customer. Di perspektif proses, kinerja eksekutif diukur dengan menggunakan tiga ukuran: (1) cycle time, (2) on-time delivery, (3) dan cycle effectiveness. Dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, kinerja eksekutif diukur dengan dua ukuran: (1) skill coverage, dan (2) quality work life.
Dari eksperimen awal Balanced Scorecard sebagai Perbaikan atas Sistem Pengukuran Kinerja Eksekutif
Balanced Scorecard diciptakan oleh Robert S. Kaplan, seorang professor dari Harvard Business School dan David P. Norton dari kantor akuntan publik KPMG. Kedua orang tersebut adalah dari U.S.A. Pada tahun 1990, Nolan Norton Institute, bagian riset kantor akuntan publik KPMG di U.S.A. yang dipimpin oleh David P. Norton, menyeponsori studi tentang “Pengukuran Kinerja dalam Organisasi Masa Depan.” Ada 12 perusahaan yang pada waktu itu menjadi objek studi: Advanced Micro Devices, American Standard, Apple Computer, Bell South, CIGNA, Corner Peripherals, Cray Research, Dupont, Electronic Data Systems, General Electric, Hewlett-Packard, dan Shell Canada. Studi ini didorong oleh kesadaran bahwa pada waktu itu ukuran kinerja keuangan yang dimanfaatkan oleh semua perusahaan untuk mengukur kinerja eksekutif tidak lagi memadai. Balanced Scorecard dimanfaatkan untuk menyeimbangkan usaha dan perhatian eksekutif ke kinerja keuangan dan nonkeuangan, serta kinerja jangka pendek dan kinerja jangka panjang. Hasil studi tersebut diterbitkan dalam sebuah artikel berjudul “Balanced Scorecard—Measures That Drive Performance” dalam Harvard Business Review (Januari-Februari 1992). Hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa untuk mengukur kinerja eksekutif di masa depan, diperlukan ukuran komprehensif yang mencakup empat perspektif: keuangan, customer, proses, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Ukuran ini disebut Balanced Scorecard, yang dipandang cukup komprehensif untuk memotivasi eksekutif dalam mewujudkan kinerja dalam keempat perspektif tersebut, agar keberhasilan keuangan yang diwujudkan perusahaan bersifat berkesinambungan (sustainable).
Dengan memperluas ukuran kinerja eksekutif ke kinerja nonkeuangan, ukuran kinerja eksekutif menjadi komprehensif. Balanced Scorecard memperluas ukuran kinerja eksekutif ke empat perspektif: keuangan, customers, proses, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Berdasarkan pendekatan Balanced Scorecard, kinerja keuangan yang dihasilkan oleh eksekutif harus merupakan akibat diwujudkannya kinerja dalam pemuasan kebutuhan customer, pelaksanaan proses yang produktif dan cost-effective, dan/atau pembangunan personel yang produktif dan berkomitmen.
Gambar 1.2 memperlihatkan perluasan ukuran kinerja eksekutif yang sebelumnya hanya terpusat pada ukuran keuangan. Dengan pendekatan Balanced Scorecard, ukuran kinerja eksekutif diperluas ke perspektif nonkeuangan: customer, proses, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Dalam contoh pada Gambar 1.2 tersebut, kinerja eksekutif di perspektif keuangan diukur dengan menggunakan tiga macam ukuran: (1) economic value added (EVA), (2) pertumbuhan pendapatan (revenue growth), (3) pemanfaatan aktiva (yang diukur dengan asset turnover), dan (4) berkurangnya biaya secara signifikan (yang diukur dengan cost effectiveness). Kinerja eksekutif di perspektif customer diukur dengan menggunakan tiga ukuran: (1) jumlah customer baru, (2) jumlah customer yang menjadi non-customer, dan (3) ketepatan waktu layanan customer. Di perspektif proses, kinerja eksekutif diukur dengan menggunakan tiga ukuran: (1) cycle time, (2) on-time delivery, (3) dan cycle effectiveness. Dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, kinerja eksekutif diukur dengan dua ukuran: (1) skill coverage, dan (2) quality work life.
Dari eksperimen awal Balanced Scorecard tersebut, perusahaan-perusahaan yang ikut serta dalam eksperimen tersebut memperlihatkan kemampuan pelipatgandaan kinerja keuangan mereka. Keberhasilan ini disadari sebagai akibat dari penggunaan ukuran kinerja Balanced Scorecard yang komprehensif. Dengan menambahkan ukuran kinerja nonkeuangan, seperti kepuasan customer, produktivitas dan cost effectiveness proses, dan pembelajaran dan pertumbuhan, eksekutif dipacu untuk memperhatikan dan melaksanakan usaha-usaha yang merupakan pemacu sesungguhnya (the real drivers) untuk mewujudkan kinerja keuangan. Itulah sebabnya mengapa Balanced Scorecard disebut sebagai: “measures that drive performance.”
tersebut, perusahaan-perusahaan yang ikut serta dalam eksperimen tersebut memperlihatkan kemampuan pelipatgandaan kinerja keuangan mereka. Keberhasilan ini disadari sebagai akibat dari penggunaan ukuran kinerja Balanced Scorecard yang komprehensif. Dengan menambahkan ukuran kinerja nonkeuangan, seperti kepuasan customer, produktivitas dan cost effectiveness proses, dan pembelajaran dan pertumbuhan, eksekutif dipacu untuk memperhatikan dan melaksanakan usaha-usaha yang merupakan pemacu sesungguhnya (the real drivers) untuk mewujudkan kinerja keuangan. Itulah sebabnya mengapa Balanced Scorecard disebut sebagai: “measures that drive performance.”

bersambung

Kamis, 07 Februari 2008

Markas PMI Cabang Makassar

PMI Cabang MAKASSAR
Jl. Lanto Daeng Pasewang No. 55 Makassar 90142
Telp: +62 411-878698 - 854221

Ancaman kepada nelayan yang melakukan penyelaman dengan menggunakan kompresor

“Jalesveva Jaya Mahe dilaut kita Jaya” itulah slogan kita yang selama ini digunakan oleh para Pelaut dan TNI Angkatan Laut kita. Hal ini sangat berlawanan dengan para ancaman pada para nelayan yang melakukan penyelaman di laut.

Penyelaman itu menggunakan kompresor yang dapat berakibat pada tubuh, hal bisa terjadi karena tidak digunakannya oksigen yang telah tersaring saat menyelam. Efek penyelaman ini dapat berakibat pada masalah pendengaran dan berakibat parah sampai dengan kelumpuhan atau kematian.

Hal ini umumnya disebabkan tuntutan pekerjaan yang didorong oleh kelompok pemodal karena tidak adanya pilihan. Penggunaan metode ”Destructive fishing” sebagai penyebab kerusakan terumbu karang, bom, pembiusan serta penggunaan linggis. Hal ini memicu terjadinya kerusakan lingkungan.

Data jumlah penderita lumpuh akibat menyelam di 4 pulau yaitu P. Barang Lompo, P Kodingareng, P Lumu lumu dan P Bonetambung ini telah didata oleh staf PMI Cabang Makassar pada tahun 2007 dengan jumlah penderita lama sebanyak 13 orang. Pembinaan yang dilakukan menghasilkan jumlah penderita yang sembuh dan tidak sembuh, yaitu: sebanyak 11 orang penderita yang tidak sembuh dan 3 orang penderita yang sembuh.

Umumnya karena makin mahalnya hasil tangkapan, tidak adanya alat tangkap maka penggunaan kompresor merupakan suatu hal yang membantu tambahan peningkatan pendapatan, meskipun hal itu berbahaya tidak nyaman dan berbahaya bagi penggunanya.

Penyelaman dengan kompresor merupakan salah satu penyebab terjadinya penyakit yang dialami oleh nelayan. Deretan penderitaan nelayan akibat kegiatan penyelaman dapat berupa: mau muntah, pusing, kram, kencing tidak mau keluar, hidung mengeluarkan darah dan telinga sakit.

Beberapa wawancara relawan PMI Cab Makassar beberapa waktu lalu mencatat apa yang disebut sakit oleh nelayan seperti di bawah ini:

“.....KALAU KITA MENYELAM BARU NAIK DI KAPAL BARU MUNTAH, PUSING, ITUMI GEJALA KRAM. TANDAMI ITU TIDAK MAU KELUAR KENCING.” (JY, 29 th, wawancara tanggal 12-4-2005)

“NAIK PAKI’ DI KAPAL BARU DIRASAKAN KRAM. ITUMI TANDANYA SAKIT” (Ks, 40 th, wawancara tanggal 12-4-2005)

“..... KALAU KITA MENYELAM, SAKIT KEPALA MENGELUARKAN DARAH DARI HIDUNG, SAKIT TELINGA, PUSING...”(Hs, 40 th, wawancara tanggal 12-4-2005)

Menurut para nelayan penyelam bahwa sakit yang dirasakan oleh mereka umumnya dikarenakan oleh (i) Kurang tidur (ii) OSA / Sesak napas (iii) Tidak minta izin kepada penghuni laut (iv) karena nasib (v) bicara borro/ Takabur sebelum turun menyelam dan (vi) terlalu lama menyelam.

Kualitas penyakit diyakini oleh nelayan penyelam berkaitan langsung dengan kebiasaan hidup sosial budayanya.

“.....KALAU SUDAH OSA DI DALAM AIR. OSA ITU BISA KARENA ADA YANG KEJAR KITA DI BAWAH AIR. APALAGI KALAU TIDAK PERMISI BILANG MAUKI’ AMBIL TERIPANG. JADI BURU-BURUMI NAIK DI KAPAL. ITU BISA KASI’ SAKITKI’ PENYELAM.”(Jy, 29 th, wawancara tanggal 12-4-2005)

“.....KARENA KURANG TIDUR. JADI BIASAMI KITA MELIHAT ADA RUMAH DAN SEBAGAINYA.”(Ag, 23 th, wawancara tanggal 20-4-2005)

“.....KARENA MENYELAM TERLALU LAMA ISTILAHNYA KEENAKAN WAKTU CARI TERIPANG.”
(Al, 22 th, wawancara tanggal 13-4-2005)

“.....SAKIT JUGA BISA DISEBABKAN KARENA NASIB. KA BIAR KITA MENYELAM SEBENTAR KALAU MAU SAKIT, SAKIT TONJI.”
(Ks, 40 th, wawancara tanggal 12-4-2005)

“.....KALAU SEBELUM TURUN BARU BICARA BORRO ISTILAHNYA TAKABUR BILANG SAYA KUATKA’ MENYELAM BIASA ITUMI ORANG BISA SAKIT. JADI TIDAK BISAKI’ BICARA TAKABUR.”
(En, 21 th, wawancara tanggal 13-4-2005)


Dari beberapa pengertian sakit di atas maka diakumulasikan bahwa sakit parah yang dirasakan oleh nelayan penyelam adalah lumpuh / tidak bisa bergerak, tidak bisa keluar kencing dan mengakibatkan ketidaknormalan (pincang).

“.....ITU KALAU SAKITNYA KITA PENYELAM PARAH, TIDAK BISA KELUAR KENCING, BADAN TIDAK BISA BERGERAK A.....PARAHMI ITU.”
(Jy, 29 th, wawancara tanggal 12-4-2005)

“PENYAKIT PALING PARAH PENYELAM ADALAH LUMPUH, KARENA SUDAH TIDAK NORMALMI.”
(Hs, 25 th, wawancara tanggal 20-4-2005)

“.....PINCANGMI JUGA.”
(Ag, 23 th, wawancara tanggal 20-4-2005)

Meskipun beberapa tindakan dilakukan pada nelayan pada saat sakit antara lain:

TINDAKAN YANG UMUMNYA DILAKUKAN TERHADAP PENYAKIT RINGAN (SAKIT KEPALA, KELUAR DARAH DARI HIDUNG, MUNTAH) DAN PARAH (KRAM DAN LUMPUH).

KARENA SAKIT TERJADI UMUMNYA TERJADI PADA SAAT BERADA DI TENGAH LAUTAN, JADI TINDAKAN TERSEBUT UMUMNYA BERSIFAT PERTOLONGAN PERTAMA.

SETELAH MERASAKAN GEJALA SAKIT, NELAYAN PENYELAM MINUM OBAT YANG DIBELI DI WARUNG DAN DIPERSIAPKAN SEBELUM TURUN MELAUT.

“KALAU KITA SEMENTARA MENCARI, KITA SELALU BAWA OBAT YANG DIBELI DI WARUNG.”
(Hs, 25 th, wawancara tanggal 20-4-2005)

TINDAKAN LAIN YANG DILAKUKAN NELAYAN PADA SAAT SAKIT ADALAH DENGAN MEMASANG SENDIRI KATETER JIKA SAKIT YANG DIDERITA KENCING TIDAK MAU KELUAR. ALAT TERSEBUT DISEDIAKAN OLEH JURAGAN SEBELUM TURUN MELAUT

“KALAU BIASANYA ADA YANG SAKIT NA KITA DI TENGAH LAUT, KALAU TIDAK BISA KELUAR KENCINGNYA DIKATETERKI. KAN BOS MEMANG SEDIAKAN KITA SEBELUM BERANGKAT...”
(Jy, 29 th, wawancara tanggal 12-4-2005)

KETIKA DITANYA SIAPA YANG MENGAJARKAN MEMASANG KATETER, INFORMAN MENYATAKAN BAHWA MEREKA HANYA MELIHAT TEMAN MEMAKAI ATAU SUSTER KETIKA MERAWAT PASIEN YANG LUMPUH

“YANG AJAR TIDAK ADA, CUMA BIASA LIAT TEMAN ATAU SUSTER YANG DATANG PASANGI TEMAN.”
(Ks, 40 th, wawancara tanggal 12-4-2005)

“.....KALAU BELUM BISA KELUAR DITURUNKAN DI AIR LAUT DIRENDAM SUPAYA KELUAR KENCINGNYA. KAN AIR LAUT ITU DINGINKI. BIASANYA KALAU KITA DI DARAT KALAU DINGIN TA’KENCING-KENCINGKI’.”
(Jy, 29 th, wawancara tanggal 12-4-2005)

KALAU BELUM JUGA BERHASIL, NELAYAN YANG SAKIT TERSEBUT DINAIKKAN KEMBALI KE KAPAL UNTUK DIURUT DENGAN TUJUAN AGAR URAT (PEMBULUH DARAH DAN SYARAF) YANG MENGECIL AKAN KEMBALI NORMAL

“A.....KALAU BELUM JUGA KELUAR, DIURUT-URUTMI URATNYA. KAN MENGECILKI ITU URAT-URAT.”
(Ks, 40 th, wawancara tanggal 12-4-2005)

Tempat berobat menjadi sebuah tempat impian bagi penderita ini, meskipun hal tesebut masih jauh dari impian.

PADA UMUMNYA YANG MEMUTUSKAN UNTUK MENCARI TEMPAT PENGOBATAN PADA SAAT ADA NELAYAN PENYELAM YANG SAKIT ADALAH PUNGGAWA ATAU JURAGAN ATAU BOS MUSYAWARAH DENGAN NELAYAN LAINNYA. HAL INI DILAKUKAN SETELAH PERTOLONGAN PERTAMA YANG DIBERIKAN PADA SAAT MELAUT TIDAK BERHASIL

“BOS YANG MENENTUKAN APAKAH YANG SAKIT MAU DIKASI PULANG ATAU TIDAK. KALAU BISAJI KELUAR KENCINGNYA, TIDAKJI. TAPI KALAU PARAH, BOS TANYA ANGGOTA, BAGAIMANA? MAU PULANG ATAU TIDAK.....”
(Jy, 29 th, wawancara 12-4-2005)

“.....JURAGANJI ATAU PUNGGAWA.’
(Hs, 25 th, wawancara tanggal 20-4-2005)


MEREKA TIDAK MAU LANGSUNG DIBAWA KE DOKTER ATAU PUSKESMAS APALAGI RUMAH SAKIT KARENA BERDASARKAN PENGALAMAN MEREKA ADA NELAYAN YANG PERNAH SAKIT DAN DIBAWA KE RUMAH SAKIT DAN DISUNTIK NELAYAN TERSEBUT MENINGGAL. JADI PEMILIHAN TEMPAT INI BERDASARKAN PENGALAMAN

JENIS PENGOBATAN YANG DIBUTUHKAN NELAYAN PENYELAM SAAT SAKIT (LUMPUH) JUGA BERVARIASI. JIKA NELAYAN YANG MENGALAMI LUMPUH PADA SAAT DI TENGAH LAUTAN, SESAMPAI DI DARAT BADAN PENYELAM TERSEBUT DITANAM PASIR YANG BERGUNA UNTUK MEMBERI PAMANASAN PADA PEMBULUH DARAH

“.....JADI KALAU PULANGMI BIASANYA LANGSUNG DITANAM BADAN KE PASIR SAMPAI LEHER. GUNANYA UNTUK BIKIN PANAS BADAN BIAR URATNYA PANAS JADI LANCARKI DARAH.”
(Jy, 29 th, wawancara tanggal 12-4-2995)


Hal ini merupakan suatu tantangan bagi pemerintah daerah khususnya dinas kesehatan dimana merupakan instansi yang bertanggung jawab atas kesembuhan para penderita.
Upaya lain yang dibutuhkan harus direncanakan mengingat luasnya kepulauan Indonesia.
Ditulis kembali oleh Pandu - PMI Cabang Makassar.

Contact Person:
Sulaiman - 62 411 878698
PMI Cabang Makassar

Kamis, 17 Januari 2008

Nelayan Lumpuh akibat mencari ikan di laut

Penggunaan Bom ikan memang memberikan jumlah hasil laut yang sangat besar akan tetapi dapat merusak ekosistem laut karena cara ini tidak dapat memilih ikan yang kecil atau besar, semua ikan yang terkena bom akan tertangkap dan siap di kumpulkan oleh nelayan.

Para nelayan dan penyelam mengumpulkan ikan yang terkena bom dengan cara menyelam ke dasar laut dan dengan cepat berusaha mengumpulkan semua ikan itu serta kembali ke daratan, hal ini berlangsung berkali kali sehingga akumulasi kegiatan menyelam ini menyebabkan bahaya.

Di sebuah Pulau yang berjarak 2 -4 jam perjalanan dari Pelabuhan Paotere dan memiliki penduduk mayoritas yang bekerja sebagai nelayan. Umumnya mereka mendapatkan upah mengumpulkan ikan hasil bom.
Kesulitan hidup yang menerpa seluruh masyarakat ini dikarenakan tidak adanya pilihan pekerjaan lain.

Akibatnya, nelayan menderita kelumpuhan akibat kegiatan menyelam yang tidak sesuai prosedur. Para nelayan dan penyelam mengumpulkan ikan yang terkena bom dengan cara menyelam ke dasar laut.
Diantara penderita ditemukan pula keluarga yang memiliki lebih dari satu orang penderita, umumnya orang tua dan anaknya.



Seorang penderita Dg Se’re berkeluh dalam bahasa Makassar ” Harga ikan saat ini semakin mahal dan sulit didapat”

Hanya nelayan bermodal kuat yang menggunakan kompresor dalam kegiatan menyelam memungkinkan menyelam lebih dalam. Meskipun adapula yang memilih bekerja di pesisir pantai.

Kegiatan relawan PMI, telah melakuan pendataan penderita dengan juga melakukan penanganan fisik penderita dengan teknik Pemijatan pada penderita.
Upaya ini meskipun sederhana dapat memetakan jumlah penderita kelumpuhan. Upaya lanjut untuk merawat penderita kelumpuhan pada usia 14 sd 40 tahun sangat diperlukan.

Pendataan 2006 ditemukan sebanyak 13 orang nelayan penyelam menderita lumpuh akibat menyelam, Keseluruhan kelompok penyelam di 3 pulau (P. arang Lompo, P. Kodingaren, P. Lumu lumu adalah sebanyak 104 kelompok ) dengan 996 orang anggota.

Dr Robert KaPuskesmas dan juga merangkap Pimpinan PMI Cab Makassar menuturkan ” Peraturan yang telah ditetapkan sulit diterapkan karena Penyelam mengejar waktu - saat ikan terkumpul dan menanti diangkat ke atas air”.

Upaya ini akan terus dilakukan oleh PMI Cabang Makassar di Pulau ini dalam Pendataan jumlah penderita dan Upaya penanggulangan Kelumpuhan akibat Pekerjaan yang berbahaya. Upaya lain dengan penyiapan alat penetralisasi tubuh yang mengalami akibat penyelaman ini sangat dibutuhkan.

#
Kegiatan menyelam yang berbahaya menyebabkan penyelam mengalami kelumpuhan

#
Contact Person: Sulaiman - PMI Cab Kota Makassar
Telp: 62 411 878698 - 854221